Kaum Intelektuan Untuk Indonesia
Memasuki
usia 79 tahun, banyak hal yang perlu menjadikan bahan renungan.Yang jelas
negara bangsa ini bukannya justru makin mundur, makin tersungkur. Dalam
tersungkuran itu, berbagai elemen yang dimiliki negeri ini belum mampu
menawarkan alternatif pemecahan.
Kemunduran
atau ketersungkuran itu antara lain bisa dirasakan dalam hilangnya perasaan
sebagai saudara diantara sesama warga bangsa yang ”mulai hidup terkotak kotak”,
tidak adanya pemimpin yang benar benar memiliki arah visi dan mengutamakan
kesejahteraan rakyatnya, sesuai dengan amanah pada pancasila sila ke 4 (empat)
yang berdampak pada kualitas kesehatan yang menurun, ekonomi indonesia yang
mulai beratakan apalagi pendidikan yang tak terarahkan.
Kini
apa yang diharapkan dari bangsa ini? Pendidikn yang diharapkan bisa menjadi
jalan keluar pun,ternyata terjebak dalam lingkaran persoalan yang sama.
Pendidikan, sebagai sarana untuk membantu warganya belum bisa dijadikan sebagai
senjata ampuh untuk mengatasi masalah.
Dibidang
pendidikan ada salah satu sekolah masjid terminal yang biasa disebut denga sekolah
MASTER, berlokasi di Jl margonda No 58 Terminal terpadu Kota depok Jawa Barat,
merupakan wadah pendidikan sekolah gratis yang diperuntukkan untuk anak jalanan
disekitar terminal depok, mencuat sebuah isu akan digusur oleh pemerintah Kota
Depok untuk diganti dengan bangunan perbelanjaan.[1]
sunggu hal tersebut membuat kita bertanya tanya, apa sebenarnya terjadi dengan
bangsa ini? Padahal disekolah master tersebut mampu menampung 2000 siswa anak
jalanan disekitar terminal depok, dan alumni dari sekolah master pun mampu
bersaing dengan mahasiswa mahasiswa lain yang bersekolah pada umumnya, beasiswa
yang mereka dapat juga tidak kalah dengan yang lain, mereka mampu melanjutkan
pendidikan ke luar negeri seperti mesir, Arab dan Ingris untuk melanjutkan pendidikan
mereka.
Bangsa
yang risau
Melihat
berbagai gejolak yang terjadi dimasyarakat,menunjukkan adanya
tanda-tanda,bangsa indonesia sedang risau. Sumber kerisuan itu terkait eksistensi
bangsa-negara indonesia masa depan bangsa ngara indonesia yang tidak menentu;
serta kesadaran sebagai warga negara(citizens)
berikut segala hak dan kewajibannya yang macet dan tidak berkembang. [2]
Istilah
kewarganegaraan (citizenships)
mempunyai arti ganda,sebagai suatu praktik dan pendidikan untuk praktik itu
sebagai praktik,kewarganegaraan menunjuk hak dan kewajiban warga
negara,sedangkan sebagai pendidikan,kewarganegaraan menunjuk pengajaran dan
pembelajaran atas praktik itu. “dulu,para siswa masih mendapat pelajaran civic yang sebelumnya merupakan
pendidikan mengenai citizenships,” ujar seorang pembicara.
Dengan
demikian,pendidikan menjadi sarana penting untuk menyiapan seseorang menjadi
warga negara yang sanggup melibatkan diri dalam urusan-urusan publik. Dengan
keterlibatan dalam politik dan urusan publik,seseorang menjadi individu yang
matang dan memiliki berbagai kebajikan sebagai warga negara. Dengan kata
lain,pendidikan tidak bisa dipisahkan dari usaha untuk menjadi warga negara
yang baik. Selain itu,pendidikan juga menjadi sarana untuklah anak
indonesia,bukan batak,buakn bugis. Melalui pendidikan,sekolah menanamkan
citizenships dan ini sudah dibuktikan oleh para pendiri banga. Secara sadar,
para pendiri bngsa mengapus piagam jakarta karena ingin memperthankan bahwa negeri
ini merupakan umah kebagsaan yang harus dibangun bersama.
Sayang,
arus kuat dan indah itu, kini meredup amat terasa, kita sekarang “ hidup
sendiri sendiri”, terkotak kotak. Para pemimpin yang seharusnya menjadi
pengayom dan pelindung, justru lebih mementingkan diri sendiri dan kelompok.
Pantai pantai yang semula berjanji akan menjadi pengayom dan penuntun
masyarakat tak memenuhi janji. Masyarakat merasa seperti dibiaran berjala
sendiri.
Karena
itu, tidak mengherankan bila kini banyak anggota masyarakat tidak lagi
merasakan keuntungan sebagai warga negara. Adakah ini pertanda bahwa negara
gagal menjalankan tugasnya. Sebagai
penyelenggara pendidikan, adakah negara juga gagal dalam menanamkan dan
menyiapkan seseorang menjadi warga negara dari hak dan kwajibannya.
Hilangnya
Negarawan.
Muncul
pertanyaan, mengapa banyak warga negara, kini merasa. “tidak memiliki” negara
ini banyak warga negara merasa “terasing” dengan negerinya sendiri, mereka
merasa “terasing” dengan Kiri – kanan, terasing dengan pemimpinnya, dan
terasing dengan negaranya. Yang menyadarkan mereka sebagai warga negara adalah
ketika harus mengurus atau memperpanjang kartu tanda penduduk atau KTP. Dan
dalam kenyataannya, KTP juga sering tidak memberi pengaruh apa apa bagi warga
negara. Kita memang sudah hidup terpisah pisah tanpa saling berhubungan.
Mengapa ini terjadi? Seorang peserta menunjuk, hal itu disebabkan hilangnya
sifat kewarganegaraan dikalangan para pemimpin. Penilaian bahwa kenegaraan
hanya memiliki para pemimpin, disanggah yang lain dengan menyatan, semua warga
negara adalah negarawan alasannya, mereka pemilik sah negara ini tetapi istilah
negarawan itu kemudian dipakai hanya untuk mereka menjadi pemimpin, mentri,
gubernur dan lain lain.
“Hal
hal inilah mungkin membuat wong Cilik merasa tidak ikut memiliki negeri ini
maka, perlu adanya upaya serius untuk melakukan perubahan, dan satu satunya
paya itu adalah memulai pendidikan, katanya “ [3]
Selain
hilangnya negarawan, hal lain yang merisaukan adalah hilang atau lumpuhnya akal
sehat dan nuran, ketika semua itu terjadi, kita ingin kembali pada dunia
pendidikan kita. Kita berharap agar pendidikan agar menjalankan peran utamanya dalam
membangun akal sehat dan nurani, tetapi kenyataannya menunjukkn, pendidikan
kita tidak atau belum menuju kearah itu.
Keadilan
sosial
Melihat
hiruk piruknya masalah yang melingkup bangsa ini, muncul twaran melakukan
perubahan dengan mengusung cita cita keadilan sosial sebagaipilar kesadaran
bersama. Untuk itu, kekuasaan “harus disebut” dalam pengertian untuk perubahan
itu sendiri.
Mengapa
ini dilakukan? Karena jika masih berfikir masih berfikir pentingnya melakukan
kebijakan dan toleransi untuk menolong arga negara miskin dan dijalankan tanpa
kekuasaan, dikhawatirkan justru tidak akan menolong, perjalannan bangsa yang
sudah teruruk hampir total ini. Karena itu, apapun yang difikirkan mengenai
kewarganegaraan dengan demokrasi, kirannya harus dikembalikan ke masalah dasar
yaitu ketimpangan sosial. Orang miskin yan lapar tidak pernah menafsirkan
kelaparannya, seperti kan orang kaya yang merasakan orang yang sama.
Tawaran
yang lain adalah keharusan untuk memberikan seluruh hak dan kewajiban setara
kebada setiap warga negara. Langkah ini perlu ditemui mengingat bidang yang
digarap terkait program politik.
Namun,
bagaimana semua itu bisa dipenuhi jika krisis ekonomi tidak terselesaikan
terlebih dahulu dengan emikian, sebenaran dasar permasalahn kita adalah krisis
ekonomi. Tanpa bisa menyeesaikan krisis ekonomi, apapun retorika yang keluar
hanyalah ekspresi kosong, Sebab, apapun yang mempengaruhi kehidupan termasuk
kewarganegaraan jika struktur dasar kehidupan, yaitu ekonomi,tidak teratasi.
Maka,
yang terjadi dalam super struktur pada dasarnya amat tergantung pada persoalan
politik yang kita hadapi sehari hari, yaitu kesejahteraan
Kaum
intelektual
Usul
Lain guna mengatasi persoalan bangsa yang kian rumit ini adalah, ajakan bagi
kaum intelektual untuk bersatu guna melakukan persoalan secara berani diakui,
upaya melakukan perubahan sungguh sulit. Mengingat kita sudah “Saling
terpisah”. Tetapi, apapun resikonya, bersatunya kaum intelektual dirasa
penting, bukan untuk menjadi politisi murahan melainkan benar benar menjadi
politisi dalam pelatihan diri menjadi negarawan.
Meskipun
demikian, diingatkan bahwa kaum intelektual sekarang tampil lebih fungsional
dari pada semacam kelompok. Para intelektuan sudah didistribusikan keberbagai
institusi. Maka, amat diharapkan peran intelektual itu kini bisa dilakukan oleh
media. Melalui media, kehidupan intelektual tidak akan mati dan terus melakukan
estavet. Inilah jalan yang harus ditempuh oleh bangsa yang merisaukan dirinya
sendiri.[4]
Kaum
intelektual dapat diartikan sebagai kaum intelektual pada umumnya dan mahasiswa
pada khususnya, bahwa gerakan mahasiswa Indonesia kedepan harus mampu
menyeimbangkan gerakan vertikal yang bersifat politik dan gerakan horisontal
yang bersifat pengembangan secara langsung melalui advokasi dan pendampingan,
Yang berbasis pengetahuan, atau sering disebut dengan”Knowledge Based Movement”[5]
DAFTAR PUSTAKA
D.Widiastono.Tonny,wartawan
Kompas,Yogyakarta
Buku
:
- “Negara Minus Nurani”
oleh Forum Mangkunwijaya III
Blog
:
- BlogRidwansyah-GAMAIS-ITB-aku&diriku-bingkai-hidup-ridwansyah.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar